Syekh Abdurrahman Batuhampar: Pelopor Pengajaran Ilmu Tilawatil Quran

Syekh Abdurrahman adalah pelopor pengajaran ilmu tilawatil quran di Indonesia. Muridnya berasal dari berbagai daerah di Minangkabau. 

Makam Syekh Abdurrahman Batuhampar.

Suluah.com – Syekh Abdurrahman adalah pelopor pengajaran ilmu tilawatil quran di Indonesia. Ia memiliki surau di Batuhampar, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Muridnya berasal dari berbagai daerah di Minangkabau.

Ia tak bisa dilepaskan dalam sejarah perkembangan pendidikan pesantren di Minangkabau. Salah seorang cucunya, Mohammad Hatta, kelak menjadi proklamator kemerdekaan Republik Indonesia.

Kehidupan Awal

Abdurrahman lahir di Nagari Batuhampar, yang terletak kira-kira 13 km dari Kota Payakumbuh pada tahun 1777. Ayahnya bernama Abdullah, gelar Rajo Baintan. Ibunya dikenal dengan panggilan Tuo Tungga.

Abdurrahman adalah anak tunggal, ia dikenal dengan sebutan “Pak Haji”, karena, ia selalu memakai pakaian haji.

Pada usia 15 tahun, ia meninggalkan Batuhampar menuju Galogandang, Tanah Datar untuk belajar kepada Beliau Galogandang. Setelah beberapa tahun menetap di sana, ia menuju Tapak Tuan di Aceh Barat untuk belajar kepada Syekh Abdurrauf.

Ia bermukim di Tapak Tuan lebih kurang delapan tahun dan dari sana, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap pula di sana selama lebih kurang tujuh tahun untuk menambah pengetahuannya.

Pada usia 63 tahun, setelah berkelana mencari ilmu pengetahuan selama 48 tahun, ia pulang ke nagarinya, Batuhampar. Sejak kepulangannya, ia mengajar agama kepada masyarakat Batuhampar. Murid-muridnya datang dari daerah-daerah lainnya di Minangkabau.

Syekh Abdurrahman memiliki enam orang istri dengan delapan orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Ia wafat tahun pada 28 tanggal Oktober 1899 dalam usia 122 tahun.

Cara Berdakwah

Walaupun pada saat itu masyarakat Batuhampar sudah memeluk Islam, mereka belum memahami dan menghayati ajarannya dengan baik. Perilaku mereka sehari-hari tercampur dengan perbuatan yang bersifat khurafat (seperti sihir dan takhayul).

Masyarakat masih suka bermain judi dan menyabung ayam, suka makan daging tikus dan kalong, tidak peduli halal dan haram, sah dan salah (batil) bercampur aduk dalam kehidupan mereka

Kebiasaan itulah yang dibersihkan Abdurrahman dengan membimbing umat memahami agama dengan cara lemah lembut dan tidak radikal.

Untuk mengubah perilaku umat, ia mengandalkan pendekatan dengan cermat dan bijaksana, membimbing secara bertahap, sedikit demi sedikit.

Bahkan, untuk menarik simpati masyarakat, ia ikut hadir dan membacakan mantera untuk ayam diperkirakannya akan menang dalam penyabungan, tetapi manteranya berisikan doa yang memohon Tuhan memberikan petunjuk terhadap masyarakat, dengan cara komat-kamit di mulutnya sambil memegang kepala ayam yang akan disabung.

Ketika ayam itu disabung dan ternyata menang, maka masyarakat menyatakan bahwa mantera Pak Haji mujarab dan mereka memintanya untuk memanterakan ayam-ayam mereka, sehingga mereka mengakui keunggulan Abdurrahman dan bersimpati kepadanya.

Sebagai seorang ulama yang menetap di kampung, Abdurrahman juga hidup dari bertani, menanam padi dan tebu.

Ia memberikan kesempatan kepada anak-anak gembala di sekitar ladang tebunya untuk bermain di sana, bahkan ia membantu mengupaskan tebu dan bagikan kepada mereka di tengah panas terik matahari. Ia mengajarkan kepada anak-anak tersebut untuk membaca basmalah (bismillahirrahmanirrahim) sebelum memakan tebu.

Ketika ia melihat masjid Batuhampar kosong pada hari Jumat, ia mengundang Datuk Rajo Malano, penghulu adat yang berpengaruh di sana, untuk datang ke masjid dengan membawa sirih dalam carano. Datuk Rajo Malano datang dan masyarakat yang melihat pemimpin adat itu datang ke masjid, ikut pula ke sana.

Pendekatan yang dilakukan Syekh Abdurrahman menimbulkan simpati masyarakat, dan secara berangsur-angsur pengikutnya mulai banyak.

Mendirikan Surau Batuhampar

Selanjutnya, ia membangun sebuah surau sebagai tempat ia mengajarkan imu tilawatil quran atau cara membaca Al-Quran, mengajarkan ibadah salat, yang dikenal dengan “rukun tiga belas” dan ilmu tauhid yang dikenal dengan “sifat dua puluh”.

Murid-murid yang ingin belajar kepadanya, berdatangan dari berbagai penjuru dan tinggal di rumah-rumah penduduk. Murid-murid itu dikenal dengan istilah “orang siak” dan mereka semuanya laki-laki.

Oleh karena keterbatasan rumah penduduk untuk menampung orang siak, maka  ia membangun suatu komplek permukiman yang disebut "kampung dagang" dengan luas kurang lebih 3 hektare, terdiri dari beberapa buah bangunan induk dengan surau-surau kecil di sekitarnya.

Dibangun pula sebuah bangunan dengan gaya rumah adat Minangkabau, yang kemudian disebut "masjid dagang". Di tempat ini, Syekh Abdurrahman memberikan pengajian Al-Quran dan melaksanakan salat berjemaah lima waktu.

Di sebelah barat masjid, terdapat pula sebuah bangunan bertingkat dua, yang digunakan khusus untuk orang yang melaksanakan suluk.

Surau-surau kecil ini berfungsi sebagai tempat mengulangi pelajaran bagi orang siak di bawah bimbingan guru tuo sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal mereka. Nama surau menyesuaikan daerah asal orang siak yang tinggal di sana, seperti Surau Mungka, Surau Solok, dan Surau Palembang.

Selain itu, terdapat pula rumah gadang, berfungsi sebagai penginapan bagi para peziarah yang datang secara musiman.

Semua bangunan ini mendapat air minum dan mandi dari mata air yang disalurkan dari tempat yang agak tinggi, kira-kira 500 m dari komplek. Air itu ditampung pada empat buah bak yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penyaringan.

Untuk pengaturan komplek, Syekh Abdurrahman menugaskan beberapa orang untuk pekerjaan rutin sehari-hari, seperti membangunkan orang siak untuk salat subuh berjamaah, menyapu dan menjaga kebersihan komplek, mengurus air dan pipa, serta mengurus dapur dan masak memasak.

Alat-alat masak berupa kancah dan periuk besar, beberapa di antaranya masih tersimpan sampai sekarang.

Komplek ini dilengkapi dengan pasar yang menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari untuk para orang siak. Terdapat pula beberapa buah toko kelontong dan tempat menjual pakaian jadi serta dasar pakaian.

Di sini, juga ada lahan yang disediakan untuk “pemakaman anak dagang” seandainya ada di antara orang siak atau peziarah yang meninggal di sana.

Teknik Pengajaran

Dalam memberikan pelajaran, murid dibagi menurut umur, orang siak yang berusia muda diberikan pelajaran membaca Al-Quran mulai dari mengenal huruf sampai kepada qiraah sab’ah (tujuh macam bacaan), dasar-dasar ibadah, dan dasar-dasar tauhid.

Orang siak yang sudah dewasa diberikan pelajaran tasawuf dan tarikat. Puncak dari pelajaran tersebut adalah suluk.

Pelajaran diberikan kepada orang siak secara lisan dan dihapalkan oleh mereka. Murid belajar dalam halaqah, duduk bersila melingkar di sekeliling syekh.

Dengan semakin banyaknya orang siak yang belajar ke sana, Syekh Abdurrahman dibantu beberapa orang guru tuo. Tugas pokoknya membantu orang siak untuk mengulangi pelajaran yang telah diberikan pada pagi hari setelah salat Subuh berjamaah.

Di antara guru tuo yang terkenal adalah putra-putra Syekh Abdurrahman sendiri yakni Arsyad, Muhammad Thaib, dan Muhammad Nur.

Untuk menarik minat baca Al-Quran dan sebagai pengakuan terhadap orang siak yang telah dapat membaca dengan lancar dan betul, diadakan upacara khatam Al-Quran setiap tahun.

Pesertanya adalah orang siak yang telah belajar Al-Quran dengan baik minimal tiga tahun. Upacara khatam Al-Quran dimeriahkan dengan arak-arakan sepanjang jalan Batuhampar, diiringi lagu barzanji.

Di antara orang siak murid Syekh Abdurrahman yang menjadi ulama terkenal adalah Syekh Salim Batubara, Syekh Ibrahim Kubang, dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung.

Orang siak yang belajar di Surau Syekh Abdurrahman tidak dikenakan biaya apapun. Namun, biasanya mereka memberikan sedekah secara ikhlas kepada syekh dan guru tuo dengan jumlah yang tidak ditentukan.

Orang siak yang berasal dari jauh, berinisiatif mencari biaya hidup di sana, Inisiatif yang mereka lakukan adalah menyebar di Nagari Batuhampar dan nagari-nagari yang berdekatan untuk meminta beras kepada masyarakat.

Biasanya, mereka keluar setiap hari Kamis dengan berpakaian putih dan membawa buntil (karung tepung) untuk tempat beras. Pada umumnya, mereka kembali pada hari itu juga, tetapi beberapa di antaranya ada yang kembali keesokan harinya, setelah salat Jumat.

Baca juga: Abdul Gaffar Ismail: Ulama Minangkabau yang Dibuang ke Pekalongan

Adapun biaya hidup syekh dan keluarganya berasal dari sedekah orang siak dan sumbangan para peziarah dalam bentuk uang, barang keperluan sehari-hari, pakaian, dan sebagainya.

Dengan sedekah dan sumbangan yang selalu mengalir, tidak hanya mencukupi kehidupan syekh dan keluarganya sehari-hari, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun rumah syekh dan keluarganya, bahkan dapat pula membiayai anak-anaknya naik haji.

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah