Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Ulama Kaum Tua yang "Modernis"

Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh atau Inyiak Abbas adalah seorang ulama Minangkabau yang berjasa dalam modernisasi pendidikan Islam. Ia mendirikan Arabiyah School di Ladang Lawas pada 1918

Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh. [Foto: Ist.]

Suluah.com – Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh atau Inyiak Abbas adalah seorang ulama Minangkabau yang berjasa dalam modernisasi lembaga pendidikan Kaum Tua. Ia mendirikan Arabiyah School di Ladang Lawas pada 1918.

Pada tahun 1928, ia bersama sejumlah ulama Minangkabau mendirikan Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI, kelak menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Salah seorang anaknya, Sirajuddin Abbas, mengikuti jejaknya sebagai ulama dan menjadi Menteri Kesejahteraan Umum.

Kehidupan Awal

Syekh Abbas Qadhi bernama lengkap Abbas bin Abdi Wahab Ladang Laweh. Ia lahir di Nagari Ladang Lawas, dekat Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Tahun kelahirannya tak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan sekitar tahun 1860-an.

Ia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Saudaranya seibu sebapak adalah Haji Muhammad Datuk Bagindo. Adapun saudaranya seibu lain ayah adalah Syekh Abdul Hakim, pimpinan Tarekat Syattariyah di Ladang Lawas.

Ia belajar mengaji Al-Quran kepada Syekh Engku Mudo di kampung halamannya. Setelah itu, ia pergi melanjutkan pelajarannya di Mekkah.

Kiprah

Pada tahun 1912, Syekh Abbas Qadhi memimpin Serikat Islam (SI) di Agam. Namun, karena tekanan pemerintah Hindia Belanda yang khawatir munculnya persatuan dan aksi menentang Belanda, maka ia mendapat pengawasan ketat.

Pemerintah Hindia Belanda melarang SI di Minangkabau melakukan aktivitas dan melakukan hubungan dengan SI di Jawa. Akibatnya, SI di Minangkabau terpecah dan berjalan sendiri-sendiri.

Pada tahun 1916, Syekh Abbas Qadhi mendirikan madrasah Ladang Lawas dan pada tahun 1918, ia mendirikan pula sekolah agama Arabiyah School di Gobah, Banuhampu.

Pada tahun 1922 ia berupaya menggagas pendirian Persatuan Ulama Sumatra (PUS) dan menjadi ketuanya hingga tahun 1928. Organisasi ini bertujuan mempertahankan i'tikad Ahlussunah wal Jama’ah dan mazhab Syafi'i.

Pada tahun 1923, pemerintah Hindia Belanda mendekatinya dan memberinya kedudukan sebagai qadi landraad di Bukittinggi. Dengan tugas ini, ia memiliki wewenang mengurus dan menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat yang berhubungan dengan pengadilan Belanda.

Kesediaannya diangkat sebagai qadi dilatarbelakangi keinginannya untuk dapat mewarnai pengadilan Belanda dengan sinar ajaran Islam dan membela kepentingan masyarakat. Namun demikian, sikapnya ini tak luput dari kritikan dan dukungan dari masyarakat.

Kesibukan Syekh Abbas Qhadi sebagai pegawai Belanda membuatnya tidak memiliki waktu untuk mengajar di madrasah yang ia dirikan di Ladang Lawas. Untuk itu, ia membuat rumah di Aur Tajungkang, Bukittinggi. Di rumahnya ini, Syekh Abbas mengajarkan agama Islam pada murid-muridnya.

Pada tahun 1924, tempat ia mengajar di Aur Tajungkang berkembang menjadi Islamic School. Namun muridnya jauh berkurang karena kebanyakan mereka telah belajar di tempat lain.

Mendirikan Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Pada tahun 1928, Syekh Abbas Qadhi bersama Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Mohammad Djamil Djaho, Abdul Hamid Tabek Gadang Suliki, dan Mohammad Arifin Batur Payakumbu mendirikan Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI, kelak menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah).

Di antara murid-muridnya adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Akhmad Khatib (menjadi mufti di Thailand), Syekh Abdul Malik, Haji Sulta'in Maninjau, dan Haji Mustafa Salim.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) merupakan lembaga pendidikan Islam bercorak pesantren yang identik dengan ulama Kaum Tua. MTI sudah menerapkan sistem kelas, seperti halnya lembaga pendidikan milik ulama Kaum Muda.

Baca juga: Adam Balai-Balai: Dari Parewa Menjadi Ulama

Kendati sistem halaqah sudah tidak digunakan lagi, tetapi kitab-kitab yang diajarkan di MTI masih kitab-kitab lama, seperti kitab Matan Aljurumiyah, Matan Taqrib, Matan Alfiyah, Fathul Qarib, Fathul Mu'in I'anah, Mahalli, dan lainnya. Adapun mata pelajaran yang diberikan yakni adalah fikih, nahwu, balagah, badi', bayan, ma'ani, tafsir, tasauf, dan tauhid.

Syekh Abbas meninggal dunia pada 27 Mei 1951 dalam usia 85 tahun. Semasa hidupnya, ia memiliki sepuluh orang istri. Dari istri-istrinya tersebut, ia dikaruniai empat puluh orang anak. Namun, hanya empat belas orang anaknya yang hidup sampai menginjak dewasa, salah satunya yakni Sirajuddin Abbas.

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah