• Login
Kamis, Juni 30, 2022
No Result
View All Result
Suluah.com
  • Peristiwa
  • Tokoh
  • Kultur
  • Story
Suluah.com
  • Peristiwa
  • Tokoh
  • Kultur
  • Story
No Result
View All Result
Suluah.com
  • Peristiwa
  • Tokoh
  • Kultur
  • Story
Home Story

Masjid Raya Lima Kaum, Pernah Nyaris Dirobohkan

by Suluah.com
Minggu, 26/12/2021
A A
Masjid Raya Lima Kaum pernah hampir dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru, tetapi Buya Hamka menyarankan agar masjid ini dipelihara.

Masjid Raya Lima Kaum. [Foto: BPCB Sumbar]

Suluah.com – Sebuah masjid dengan atap kerucut membumbung ke angkasa pada siang hari yang terik. Warna merah membalur sekujur atap seng bak mencegah kilau matahari memantulkan cahayanya. Pada puncak atap, bertengger semacam gardu pandang dengan atap ala kastil di Eropa.

Itulah Masjid Raya Lima Kaum yang terletak di Nagari Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Lokasinya berjarak sekitar 500 meter dari Jalan Sudirman. Masjid ini mewarisi bentuk lampau arsitektur masjid tradisional Minangkabau dan eksistensinya telah melewati masa tiga abad. Bagaimana sejarahnya?

Baca Juga

Masjid Usang Koto Marapak, Bertahan Meski Ditinggalkan

Beribadah di Masjid Jamik Nurul Huda Padang Panjang yang Bersih dan Nyaman

Sekilas Nagari Lima Kaum

Lima Kaum adalah salah satu nagari kuno di Minangkabau. Tak seperti Nagari Pariangan atau Sungayang yang namanya berbau Sanskerta, nama Lima Kaum menyiratkan pengaruh bahasa Arab. Kata kaum, berasal dari qaum, memiliki arti kelompok keluarga. Spesifiknya, kaum adalah himpunan keluarga di Minangkabau yang memiliki hubungan darah berdasarkan asal keturunan ibu.

ADVERTISEMENT

Dalam sejarahnya, Lima Kaum adalah tempat Datuk Perpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumangguangan mencetuskan pemikiran tentang sistem kelarasan (pemerintahan), yakni Kelarasan Bodi Caniago dan Kelasarasan Koto Piliang.

Banyak peninggalan bersejarah di Lima Kaum. Di antaranya, ada Batu Basurek di Jorong Kubu Rajo yang merupakan peninggalan Raja Aditiawarman. Lalu, ada Batu Batikam di Jorong Dusun Tuo yang merupakan sebagai prasasti ikrar kesepakatan antara Datuk Perpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumangguangan.

Selanjutnya, ada Masjid Raya Lima Kaum yang kita bahas ini.

Sejarah Masjid Raya Lima Kaum

Masjid Raya Lima Kaum pernah hampir dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru, tetapi Buya Hamka menyarankan agar masjid ini dipelihara.
Masjid Raya Lima Kaum pada masa kolonial Belanda.

Asal usul Masjid Raya Lima Kaum dapat kita tarik hingga abad ke-17. Saat itu, diyakini telah ada tempat ibadah yang digunakan oleh masyarakat Muslim setempat. Lokasinya berada di Jorong Balai Batu.

“Hanya beralas batu, berdinding angin, beratap langit,” demikian gambaran tempat ibadah di Limau Kaum. Artinya tidak menyiratkan bentuk bangunan sama sekali. Pada waktu yang tidak diketahui, lokasinya dipindahkan ke Jorong Tigo Tumpuak.

Bangunan awal Masjid Raya Lima Kaum diyakini mulai dibangun pada awal abad ke-18. Ada yang memperkirakannya tahun 1710. Namun, tidak ada penjelasan lanjut dari mana angka itu berasal. Jika benar begitu, maka keberadaan masjid ini sudah melewati masa tiga abad.

Ada riwayat tradisional yang mengaitkan sejarah pendirian Masjid Raya Lima Kaum dengan peristiwa Batu Batikam. yaitu perselisihan antara Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang soal kelarasan.

Datuk Parpatiah mencetuskan Kelarasan Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan mencetuskan Kelasarasan Koto Piliang yang aristokratis.

Mereka bertengkar hebat. Sebagai pelampiasan emosi, Datuk Parpatiah dan Datuk Katumanggungan menikamkan keris mereka pada sebuah batu. Batu itulah yang populer sebagai batu batikam. Lokasinya berada di Jorong Dusun Tuo yang merupakan bagian dari wilayah Nagari Lima Kaum.

Namun, ketegangan di antara Duo Datuk tidak kunjung reda setelah peristiwa Batu Batikam. Pemuka masyarakat Lima Kaum berinisiatif membuat perdamaian dalam bentuk kenduri serta pendirian masjid yang “lima tingkat atapnya”. Itulah dia Masjid Raya Lima Kaum.

Pembangunan Masjid Raya Lima Kaum dilakukan secara bersama oleh masyarakat setempat. Bangunannya terbuat dari kayu dan papan, mulai dari dinding hingga tiang, sementara atapnya terbuat dari ijuk.

Nyaris Dirobohkan dan Diganti

Pada tahun 1950-an, Buya Hamka berkunjung ke Lima Kaum. Saat pertama kali melihat masjid ini, ia langsung terkagum. Namun, perasaan Hamka terenyuh mendengar isu bahwa masjid akan dibongkar dan diganti dengan bangunan yang baru.

Merespons hal itu, Hamka menulis di Harian Haluan edisi 14 April 1951. Ia meminta pemerintah memelihara masjid ini alih-alih meruntuhkan dan menggantinya dengan “bangunan yang tidak tentu modelnya”. Selanjutnya, Hamka menyarankan perbaikan atap masjid yang berbahan ijuk, “tetapi tingkatnya tetap lima”.

Baca juga: Sejarah Masjid Jamik Tarok, Salah Satu yang Tertua di Bukittinggi

Beruntung, bentuk Masjid Raya Lima Kaum tetap bertahan hingga sekarang. Walaupun tentu saja, terdapat sejumlah pembaruan sana sini, seperti pelebaran mihrab, pembuatan serambi, perbaikan dan pemasangan kaca pada jendela, penggantian bilah-bilah papan yang telah rapuh, dan pembuatan atap dengan bahan seng.

Tak berlebihan jika Hamka mengagumi arsitektur masjid ini. Ia menyebut bahwa Masjid Raya Lima Kaum merupakan “lambang yang tinggi” dari “penerimaan jiwa nenek moyang kepada ajaran Islam”. [den]

Tags: Cagar budayaHamkaMasjidMasjid tua di Sumatra BaratTanah Datar
ShareTweetSendShareSend

RELATED ARTICLE

Gereja GPIB menjadi saksi perkembangan agama Kristen Protestan di Padang yang berkembang sejak abad ke-19. Bangunannya sudah berusia 140 tahun lebih

Sejarah Gereja GPIB Padang, Berusia 140 Tahun Lebih

Di Nagari Pariangan, ada sedikitnya belasan surau dan lokasinya memusat ke arah Masjid Ishlah.

Meninjau Surau-Surau di Pariangan yang Terlewatkan

Sumur Ayek adalah sumur tua yang airnya tak pernah kering, bahkan saat musim kemarau sekalipun.

Melihat Sumur Ayek di Nagari Pelangai Kaciak, Pesisir Selatan

Masjid ini berusia lebih dari seabad. Bangunan induknya terbuat dari kayu dengan tambahan bangunan serambi yang terbuat dari batu bata.

Masjid Usang Koto Marapak, Bertahan Meski Ditinggalkan

POPULAR

Meskipun dikenal sebagai penganut agama Islam, ternyata pernah ada orang Minang yang keluar dari Islam. Ada yang jadi pendeta bahkan ateis.

Profil 3 Orang Minang yang Keluar dari Islam

Nuansa Islam begitu kental di Ranah Minang. Hal tersebut ternyata memengaruhi pesepak bola berikut ini menjadi mualaf di Ranah Minang.

Banyak Pesepak Bola yang Jadi Mualaf di Ranah Minang

Rizal Muslimin adalah seorang arsitek Indonesia. Ia terkenal sebagai perancang desain Masjid Raya Sumatra Barat yang mendapat penghargaan Abdullatif Al Fozan Award 2021 untuk tujuh arsitektur masjid terbaik di dunia.

Cerita Rizal Muslimin Merancang Desain Masjid Raya Sumbar

Keberadaan Baha'i di Sumbar belum begitu mendapat perhatian. Sumbar menjadi salah satu daerah dengan penganut Baha'i terbanyak di Indonesia.

Dokter Astani, Pelopor Baha’i di Padang dan Bukittinggi

Surya Tri Harto memulai kariernya di PT Pertamina pada tahun 1994. Saat ini, alumni Unand ini menjabat sebagai Vice President PT Pertamina.

Surya Tri Harto, Wakil Presiden Pertamina Putra Tanah Datar

K.H. Abdul Ghofur adalah pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. K.H. Abdul Ghofur merupakan keturunan ke-14 dari Sunan Drajat dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU).

K.H. Abdul Ghofur, Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat

Cekricek Network

Selebkita.com | Kabarkabari.id | Kalamakan.com | Cektips.com | Suluah.com | Ototekno.id | Liniekonomi.com | Sainskita.com | Badata.id | Inkes.id | Pesonapuan.com | Ceritahits.com | Invesco.id | Cekhukum.com

Follow Kami

  • About Us
  • Editorials
  • Contact Us
  • Privacy
  • Index

©2021 Cekricek.id | All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Peristiwa
  • Tokoh
  • Kultur
  • Story
  • Login

©2021 Cekricek.id | All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In