A. Damhoeri, Sastrawan asal Halaban yang Dipenjara Karena Tulisannya

A. Damhoeri adalah seorang penulis prolifik Indonesia yang malang melintang di dunia karang-mengarang. Ia pernah dipenjara karena tulisannya.

A. Damhoeri adalah seorang penulis prolifik Indonesia yang malang melintang di dunia karang-mengarang. Ia pernah dipenjara karena tulisannya.

Suluah.com – A. Damhoeri adalah seorang penulis prolifik Indonesia yang malang melintang di dunia karang-mengarang. Buah karyanya muncul dalam genre puisi, cerpen, novel, esai budaya, serta artikel mengenai sejarah dan agama Islam.

Karya-karyanya tayang di berbagai media cetak di Sumatera dan Jawa. Selain menulis, ia pernah menjadi guru dan aktif di lapangan kebudayaan.

Profil A. Damhoeri

A. Damhoeri lahir pada 31 Agustus 1915 di Nagari Batu Payung, Kecamatan Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat (Sumbar).

Ia menyelesaikan Sekolah Gubernemen di Bangkinang tahun 1928 dan melanjutkan pendidikan di sekolah Normal (sekolah guru) di Padang Panjang tahun 1934.

A. Damhoeri berasal dari keluarga biasa dan mendapat keterampilan dalam dunia karang-mengarang dengan belajar secara otodidak.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah Normal, ia menjadi guru Sekolah Desa di Halaban pada tahun 1934.

Tahun 1935, ia pindah mengajar ke Koto Tangah, Batuhampar, Payakumbuh. Setelah tiga tahun mengajar, ia memutuskan berhenti.

Pasalnya, ia harus ditahan selama empat bulan karena delik pers atas artikelnya Timur, Tanah Airku yang dimuat dalam Harian Persamaan di Padang pada 1937.

A. Damhoeri diadili di Pengadilan Neger i(Landraad) di Padang. Ia menjadi tahanan penjara Padang dari bulan Januari sampai April 1937.

Bebas dari Penjara

Setelah bebas, ia merantau ke Medan. Dari tahun 1939 sampai 1942, ia mengajar di dua sekolah, yakni sekolah Gemeente di Kampung Keling Medan dan sekolah partikelir Medan Deli Serdang Studiefonds (Medest), setingkat HIS.

Tahun 1943, ia kembali pulang ke Payakumbuh dan menjadi guru SD berpindah-pindah di sekitar Payakumbuh.

Selanjutnya, ia menjadi Kepala Sekolah Rakyat di Sitanang tahun 1946. Tahun 1950 ia menjadi Kepala Sekolah Rakyat, mulanya di Salibawan Lubuk Sikaping, kemudian pindah menjadi Kepala Sekolah Rakyat Danau Bingkuang di Bangkinang sampai tahun 1956.

A. Damhoeri pindah menjadi Kepala Seksi Kesenian Perwakilan Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatra Tengah (Sumteng) di Bukittinggi pada tahun 1956.

Selanjutnya, ia menjadi Kepala Seksi Kesenian Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar pada 1963. Akhirnya, ia menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten 50 Kota di Payakumbuh sampai akhirnya pensiun pada tahun 1971.

Karya A. Damhoeri

A. Damhoeri memulai debutnya tahun 1931, sewaktu novelnya yang pertama Mentjari Djodoh diterbitkan oleh Balai Pustaka sampai cetak ulang empat kali.

Beberapa novelnya yang terbit pada zaman kolonial Belanda di antaranya Menanti Surat dari RantauSerikat MMBBKekuatan Darah Remaja, dan Depok Anak Pagai.

Serikat MMB dan Kekuatan Darah Remaha terbit di Medan. Kedua buku ini membongkar kebobrokan dalam penjara.

Depok Anak Pagai mengisahkan orang rantau (narapidana) dalam penjara Padang dan mengandung semangat perrsatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada 1981, Depok Anak Pagai diterbitkan kembali dengan perubahan ejaan yang disempurnakan dan dicetak sebanyak 116.000 eksamplar.

Pada masa pendudukan Jepang, A. Damhoeri tidak aktif mengarang buku, kecuali beberapa buah cerita sandiwara yang memberi sindiran dan kiasan kepada pemerintahan Jepang.

Setelah merdeka, baru ia mulai kembali menulis dengan buku pertamanya adalah Senjata Pemuda dan Bom Buta Huruf.

Buku pertama berisi kisah heroik para pemuda Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Adapun buku kedua berisi pelajaran untuk membasmi buta huruf.

Sesudah tahun 1950, A. Damhoeri kembali sangat produktif mengarang novel-novel, cerita anak, cerita bersambung, artikel-artikel, naskah-naskah sandiwara, dan cerita-cerita saduran.

Diperkirakan pada dekade ini, ia mengarang puluhan judul buku. Beberapa di antaranya masih beredar, seperti Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit, terbitan Balai Pustaka, dengan tema perjuangan pemuda untuk kemerdekaan.

Pada era 1980-an, ia banyak mengarang buku-buku bacaan untuk Sekolah Dasar, diterbitkan oleh beberapa penerbit, seperti Balai Pustaka, Idayu, Bulan Bintang, Widjaja, Angkasa, Mutiara, Dian, Dunia Pustaka Djaja, Indra Djaja, dan Al-Ma’arif.

Novel terakhirnya aalah Si Loreng dari Rimba Mangkisi terbitan Balai Pustaka dan Pasien Terakhir terbitan Angkasa Bandung.

Adapun buku terakhir karangan A. Damhoeri adalah Tawanan Perang Badar terbitan Angkasa, Bandung pada 13 November 1986. Buku ini dipesan oleh Departemen Agama RI untuk dipakai di sekolah-sekolah agama.

Setelah peredaran buku terakhir ini, A. Damhoeri masih tetap produktif, tetapi baru dalam bentuk naskah-naskah yang belum sempat diterbitkan.

Dari buku pertama, yang terbit 27 November 1931 sampai dengan 13 November 1986, ia telah menghasilkan tidak kurang dari 150 buah judul buku.

Tema Karya

Rasa nasionalisme A. Damhoeri tampak dari tulisan-tulisan yang berisi kritik pedas terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga ia dituduh menghina, menghasut, dan mendiskreditkan Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, A. Damhoeri pernah dipanggil Kamigatai (polisi militer Jepang), dan hampir saja dibunuh.

Pada masa awal kemerdekaan, A. Damhoeri sangat proaktif menyambut kemerdekaan dengan menyebarluaskan naskah proklamasi dan naskah Undang-Undang Dasar 1945 di daerah Payakumbuh dan sekitarnya.

Damhoeri juga aktif dalam kegiatan sosial. Ia pernah menjadi Ketua Pemberantas Buta Huruf dari Persatuan Guru-Guru Republik Indonesia (Perguri) yang aktif memberantas buta huruf sampai ke pelosok-pelosok kampung.

Selain itu, A. Damhoeri juga menjadi Ketua Ikatan Pencinta Kesenian (IPK), sebuah organisasi lokal yang bertujuan untuk kesenian semata yang berpusat di Padang.

Baca juga: Audrey Kahin: Menulis Sejarah Minangkabau

Beberapa kali, ia mengadakan pertunjukan sandiwara di Bioskop Karya Payakumbuh dan mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat. Tema-tema sandiwara yang ia bawakan adalah kesatuan dan persatuan bangsa, sesusai dengan tema perjuangan pada masa itu.

A. Damhoeri meninggal di Lurah Bukit, Seberang Air, Kecamatan Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota, tanggal 6 Oktober 2000 dalam usia 85 tahun.

Baca Juga

Aisyah Elliyanti adalah ahli kedokteran nuklir Indonesia yang menjadi guru besar untuk bidang tersebut di FK Unand
Aisyah Elliyanti, Spesialis Kedokteran Nuklir Pertama di Sumatera
Prof. Syukri Arief adalah ilmuwan kimia Indonesia yang sehari-hari mengajar di Universitas Andalas (Unand).
Syukri Arief, Guru Besar Kimia Universitas Andalas
Marah Adin berkarir sebagai penyuluh pertanian pada masa Hindia Belanda dan pensiun sebagai Kepala Dinas Pertanian Sumatra Tengah (1948–1956)
Marah Adin, Pendiri Kota Solok
Djamaluddin Tamim adalah seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia di Sumatra Barat pada dekade 1920-an
Djamaluddin Tamim, Berjuang untuk Indonesia Merdeka Meski Keluar-Masuk Penjara
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Abdul Hamid Khatib, Putra Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang Jadi Diplomat
Asvi Warman Adam adalah sejarawan kontemporer Indonesia yang menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983.
Asvi Warman Adam, Menguak Kabut Sejarah